rumah adat sulawesi tenggara
Anjungan atau bangunan induk anjungan mengambil bentuk Istana Sultan
Buton (disebut Malige) yang megah. Meskipun didirikan hanya dengan
saling mengait, tanpa tali pengikat ataupun paku, bangunan ini dapat
berdiri dengan dengan kokoh dan megah diatas sandi yang menjadi landasan
dasarnya. Patung dua ekor kuda jantan yan sedang bertarung, pelengkap
bangunan, menggambarkan tradisi mengadu kuda dari Pulau Muna yang
digemari masyarakat Sulawesi Tenggara
Di Taman Mini Indonesia Indah, anjungan Sulawesi Tenggara terletak di
sebelah tenggara arsipel, bersebelahan dengan anjungan Sulawesi Selatan
serta berhadapan dengan istana anak-anak Indonesia. Dalam memperkenalkan
daerahnya propinsi Sulawesi Tenggara menampilkan bangunan induk yang
merupaka tiruan dari istana raja Buton yang disebut Malige.
Bangunan
ini sengaja ditampilkan karena bangunan yang asli masih ada di pulau
Buton serta merupakan satu peninggalan budaya yang bersejarah. Di
halaman anjungan dilengkapi dengan patung-patung orang berpakaian adat
antara lain dari daerah Buton, Muna, Kendari dan Koloka. Juga patung 2
ekor kuda jantan yang sedang berlaga, memperebutkan kuda betina. Adegan
in menggambarkan Pogerano Ajara, jenis aduan kuda khas Sulawesi
Tenggara, dan merupakan permainan raja-raja. Selain Anoa, Rusa dan
lain-lain.
Rumah adat Buton atau Buton merupakan bangunan di atas tiang, dan
seluruhnya dari bahan kayu. Banguanannya terdiri dari empat tingkat atau
empat lantai. Ruang lantai pertama lebih luas dari lantai kedua.
Sedangkan lantai keempat lebih besar dari lantai ketiga, jadi makin
keatas makin kecil atau sempit ruangannya, tapi di lantai keempat
sedikit lebih melebar.
Seluruh bangunan tanpa memakai paku dalam pembuatannya, melainkan
memakai pasak atau paku kayu. Tiang-tiang depan terdiri dari 5 buah yang
berjajar ke belakang sampai delapan deret, hingga jumlah seluruhnya
adalah 40 buah tiang. Tiang tengah menjulang ke atas dan merupakan tiang
utama disebut Tutumbu yang artinya tumbuh terus. Tiang-tiang ini
terbuat dari kayu wala da semuanya bersegi empat. Untuk rumah rakyat
biasa, tiangnya berbentuk bulat. Biasanya tiang-tiang ini puncaknya
terpotong.
Dengan melihat jumlah tiang sampingnya dapat diketahui
siapa atau apa kedudukan si pemilik. Rumah adat yang mempunyai tiang
samping 4 buah berarti rumah tersebut terdiri dari 3 petak merupakan
rumah rakyat biasa. Rumah adat bertiang samping 6 buah akan mempunyai 5
petak atau ruangan, rumah ini biasanya dimiliki oleh pegawai Sultan atau
rumah anggota adat kesultanan Buton. Sedangkan rumah adat yang
mempunyai tiang samping 8 buah berarti rumah tersebut mempunyai 7
ruangan dan ini khusus untuk rumah Sultan Buton.
Adapun susunan ruangan dalam istana ini adalah sebagai berikut:
1 Lantai pertama terdiri dari 7 petak atau ruangan, ruangan pertama dan
kedua berfungsi sebgai tempat menerima tamu atau ruang sidang anggota
Hadat Kerajaan Buton. Ruangan ketiga dibagi dua, yang sebelah kiri
dipakai untuk kamar tidur tamu, dan sebelah kanan sebagai ruang makan
tamu. Ruangan keempat juga dibagi dua, berfungsi sebgai kamar anak-anak
Sultan yang sudah menikah. Ruang kelima sebgai kamar makan Sultan, atau
kamar tamu bagian dalam, sedangkan ruangan keenam dan ketujuh dari kiri
ke kanan diperguakan sebagai makar anak perempouan Sultan yang sudah
dewasa, kamar Sultan dan kamar anak laki-laki Sultan yang dewasa.
Di anjungan Sulawesi Tenggara, lantai pertama ini konstruksi atau
susunan ruangan sudah diubah sesuai dengan keperluan, sebagi pameran dan
peragaan aspek kebudayaan daerahnya. Di sini dipamerkan pakaian
kebesaran tradisional raja Kendari beserta permaisurinya, juga pakaian
kebesaran raja Muna,panglima perang atau Kapitalao, menteri besar atau
Banto Balano dan Pasi yakni petugas pengurus benda pusaka kerajaan.
Semuanya dipamerkan dengan bentuk boneka berpakaian tradisional
tersebut. Di ruanga inipun dioamerkan berbagai jenis hasil kerajiana
perak Kendari, kerajinan anyaman-anyaman, tenunan serta benda-benda
pusaka, beberapa goci dan berbagai binatang yang telah diawetkan seperti
penyu, burung Meleo, penyu bersisik, biawak, enggang dan lain-lain.
2 Lantai kedua dibagi menjadi 14 buah kamar, yaitu 7 kamar di sisi
sebelah kanan dan 7 kamar di sisi sebelah kiri. Tiap kamar mempunyai
tangga sendiri-sendiri hingga terdapat 7 tangga di sebelah kiri dan 7
tangga sebelah kanan, seluruhnya 14 buah tangga. Fungsi kamar-kamar
tersebut adalah untuk tamu keluarga, sebagai kantor, dan sebagai gudang.
Kamar besar yang letaknya di sebelah depan sebagai kamar tinggal
keluarga Sultan, sedangkan yang lebih besar lagi sebagai Aula.
3 Lantai ketiga berfungsi sebagai tempat rekreasi
4 Lantai keempat berfungsi sebagai tempat penjemuran. Disamping kamar
bangunan Malige terdapat sebuah banguan seperti rumah panggung mecil,
yang dipergunakan sebagai dapur, yang dihubungakan dengan satu gang di
atas tiang pula. Di anjungan bangunan ini di[pergunakan sebagai kantor
anjungan. Pada bangunan Malige terdapat 2 macam hiasan, yaitu ukira naga
yang terdapat di atas bubungan rumah, serta ukiran buah nenas yang
tergantung pada papan lis atap, dan dibawah kamar-kamar sisi depan.
Adapun kedua hiasan tersebut mengandunga makna yang sangat dalam, yakni
ukiran naga merupakan lambang kebesaran kerajaan Buton.
Sedangkan
ukiran buah nenas, dalam tangkai nenas itu hanya tumbuh sebuah nenas
saja, melambangkan bahwa hanya ada satu Sultan di dalam kerajaan Buton.
Bunga nenas bermahkota, berarti bahwa yang berhak untuk dipayungi dengan
payung kerajaan hanya Sultan Buton saja. Nenas merupakan buah berbiji,
tetapi bibit nenas tidak tumbuh dari bibit itu, melainkan dari rumpunya
timbul tunas baru. ini berarti bahwa kesultanan Buton bukan sebagai
pusaka anak beranak yang dapat diwariskan kepada anaknya sendiri.
Falsafah nenas in dilambangakan sebagai kesultanan Buton, dan Malige
Buton mirip rongga manusia.
Anjugan daerah Sulawesi Tenggara dibangun sejak tahun 1973 dan
diresmikan pengggunaannya pada tahun 1975.
Bertindak sebagai perancang terutama pada bangunan induknya adalah
orang-orang adat dari bekas kesultanan Buton. Pada halaman anjungan
terdapat arena pertunjukan dengan latar belakang relief, yang
menggambarkan kebudayaan di Sulawesi Tenggara. Di arena inilah pada hari
Minggu atau hari libur dipagelarkan kesenian tradisional seperti
tari-tarian antara lain tari Kalegoa, tari Lariangi, tari Balumpa, tari
Malulo dan lain-lain. Jenis tarian terakhir merupakan tarian pergaulan
yang ditarikan dengan membentuk suatu lingkaran, bila besarnya lingkaran
telah mencapai lebar arena, dibentuk lagi lingkaran baru di dalamnya,
begitu seterusnya sehingga membentuk lingkaran yang berlapis-lapis
karena semakin banyak orang yang melibatkan diri ikut menari tarian
Malulo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar