Rabu, 22 Januari 2014

Makanan khas sulawesi tenggara

makanan khas sulawesi tenggara.
sononggi.
 
 Sinonggi adalah makanan khas suku Tolaki dari Sulawesi Tenggara, Indonesia, yang terbuat dari pati sari sagu. Suku Tolaki memiliki tradisi menyantap sinonggi bersama-sama yang disebut mosonggi. Bagi Suku Tolaki, sinonggi merupakan makanan pokok yang kini telah mengalami pergeseran makna dan bersaing dengan nasi.

Sagu (@al_habib21)
Sinonggi adalah makanan pokok Suku Tolaki yang terbuat dari pati sari sagu. Di Sulawesi Selatan, masakan yang serupa dikenal dengan nama kapurung dan di Kepulauan Maluku disebut papeda. Meski masakan-masakan tersebut memiliki kemiripan bahan, cara penyajiannya berbeda. Untuk sinonggi, tepung sagu yang sudah dimasak tidak dicampurkan dengan sayur, kuah ikan, sambal ("dabu-dabu"), atau bumbu lainnya, namun tergantung selera masing-masing. Bagi suku Tolaki, sinonggi dahulu merupakan makanan pokok, namun saat ini telah menjadi makanan sekunder pengganti beras pada masa paceklik.
Sejarah Sinonggi
Walaupun merupakan makanan khas Suku Tolaki, belum ada yang mengetahui sejak kapan Suku Tolaki mengonsumsi sinonggi. Namun, makanan ini sudah ada sejak ratusan tahun silam layaknya beras. Mitos Tolaki menyebutkan bahwa pohon sagu bahan baku Sinonggi tumbuh dengan sendirinya di perkampungan Kuko Hulu di Sungai Konaweha, yang kini bernama Latoma Tua. Dalam bahasa Tolaki, ia disebut "sowurere", yang artinya "suatu kampung yang ditumbuhi ribuan pohon sagu". Lokasinya persis di dekat Tongauna, Kecamatan Ulu Iwoi, Kabupaten Kolaka. Versi lain menyebutkan bahwa pohon sagu yang tumbuh di rawa-rawa tersebut, sebetulnya berasal dari Maluku.
Nama sinonggi diyakini budayawan lokal berasal dari kata posonggi.Posonggi atau o songgi (bahasa Tolaki) merupakan alat mirip sumpit terbuat dari bambu yang dihaluskan dengan ukuran panjang kurang dari sepuluh sentimeter. Alat inilah yang digunakan untuk mengambil sinonggi dari tempat penyajian. Dengan cara digulung, sinonggi diletakkan ke piring yang telah diisi kuah sayur dan ikan serta bumbu lainnya. Gulungan sinonggi di piring kemudian dipotong-potong dan dimasukkan ke dalam mulut menggunakan alat serupa yang berukuran lebih kecil atau dengan jari. Sinonggi biasanya tidak dikunyah, tetapi ditelan langsung.
Dahulu orang tua menyimpan sinonggi dalam dulang yang terbuat dari kayu. Dulang dalam bahasa Tolaki adalah "odula". Seiring perubahan zaman, sinonggi mulai tidak disimpan dalam dulang kayu melainkan dalam baskom. Perubahan ini diyakini penikmat sinonggi telah mengurangi kelegitan rasanya yang khas. Begitu pula dengan penggunaan posonggi yang menghilang, saat ini orang lebih banyak langsung menggunakan tangan atau memakai sendok untuk mengkonsumsi sinonggi.

Selasa, 21 Januari 2014

tarian tradisional sulawesi tenggara

tari lumense budaya tradisional dari sulawesi tenggara


luumense berasal dari kata Lume yang berarti terbang dan Mense yang berarti itinggi, jadi Lumense berarti terbang tinggi. Tarian ini berasal dari Kecamatan Kabaena Kabupaten Bombana. Makna dari tarian ini adalah pemujaan pada sang dewa

Tarian ini dipersembahkan pada upacara penyambutan tamu pesta-pesta rakyat di Kabupaten Bombana.Tari Lumense, tari 
dari Poso yang merupakan tarian selamat dating untuk menyambut tamu






Minggu, 19 Januari 2014

Rumah adat sulawesi tenggara

rumah adat sulawesi tenggara

Anjungan atau bangunan induk anjungan mengambil bentuk Istana Sultan Buton (disebut Malige) yang megah. Meskipun didirikan hanya dengan saling mengait, tanpa tali pengikat ataupun paku, bangunan ini dapat berdiri dengan dengan kokoh dan megah diatas sandi yang menjadi landasan dasarnya. Patung dua ekor kuda jantan yan sedang bertarung, pelengkap bangunan, menggambarkan tradisi mengadu kuda dari Pulau Muna yang digemari masyarakat Sulawesi Tenggara
Di Taman Mini Indonesia Indah, anjungan Sulawesi Tenggara terletak di sebelah tenggara arsipel, bersebelahan dengan anjungan Sulawesi Selatan serta berhadapan dengan istana anak-anak Indonesia. Dalam memperkenalkan daerahnya propinsi Sulawesi Tenggara menampilkan bangunan induk yang merupaka tiruan dari istana raja Buton yang disebut Malige.
Bangunan ini sengaja ditampilkan karena bangunan yang asli masih ada di pulau Buton serta merupakan satu peninggalan budaya yang bersejarah. Di halaman anjungan dilengkapi dengan patung-patung orang berpakaian adat antara lain dari daerah Buton, Muna, Kendari dan Koloka. Juga patung 2 ekor kuda jantan yang sedang berlaga, memperebutkan kuda betina. Adegan in menggambarkan Pogerano Ajara, jenis aduan kuda khas Sulawesi Tenggara, dan merupakan permainan raja-raja. Selain Anoa, Rusa dan lain-lain.
Rumah adat Buton atau Buton merupakan bangunan di atas tiang, dan seluruhnya dari bahan kayu. Banguanannya terdiri dari empat tingkat atau empat lantai. Ruang lantai pertama lebih luas dari lantai kedua. Sedangkan lantai keempat lebih besar dari lantai ketiga, jadi makin keatas makin kecil atau sempit ruangannya, tapi di lantai keempat sedikit lebih melebar.
Seluruh bangunan tanpa memakai paku dalam pembuatannya, melainkan memakai pasak atau paku kayu. Tiang-tiang depan terdiri dari 5 buah yang berjajar ke belakang sampai delapan deret, hingga jumlah seluruhnya adalah 40 buah tiang. Tiang tengah menjulang ke atas dan merupakan tiang utama disebut Tutumbu yang artinya tumbuh terus. Tiang-tiang ini terbuat dari kayu wala da semuanya bersegi empat. Untuk rumah rakyat biasa, tiangnya berbentuk bulat. Biasanya tiang-tiang ini puncaknya terpotong.
Dengan melihat jumlah tiang sampingnya dapat diketahui siapa atau apa kedudukan si pemilik. Rumah adat yang mempunyai tiang samping 4 buah berarti rumah tersebut terdiri dari 3 petak merupakan rumah rakyat biasa. Rumah adat bertiang samping 6 buah akan mempunyai 5 petak atau ruangan, rumah ini biasanya dimiliki oleh pegawai Sultan atau rumah anggota adat kesultanan Buton. Sedangkan rumah adat yang mempunyai tiang samping 8 buah berarti rumah tersebut mempunyai 7 ruangan dan ini khusus untuk rumah Sultan Buton.
Adapun susunan ruangan dalam istana ini adalah sebagai berikut:
1 Lantai pertama terdiri dari 7 petak atau ruangan, ruangan pertama dan kedua berfungsi sebgai tempat menerima tamu atau ruang sidang anggota Hadat Kerajaan Buton. Ruangan ketiga dibagi dua, yang sebelah kiri dipakai untuk kamar tidur tamu, dan sebelah kanan sebagai ruang makan tamu. Ruangan keempat juga dibagi dua, berfungsi sebgai kamar anak-anak Sultan yang sudah menikah. Ruang kelima sebgai kamar makan Sultan, atau kamar tamu bagian dalam, sedangkan ruangan keenam dan ketujuh dari kiri ke kanan diperguakan sebagai makar anak perempouan Sultan yang sudah dewasa, kamar Sultan dan kamar anak laki-laki Sultan yang dewasa.
Di anjungan Sulawesi Tenggara, lantai pertama ini konstruksi atau susunan ruangan sudah diubah sesuai dengan keperluan, sebagi pameran dan peragaan aspek kebudayaan daerahnya. Di sini dipamerkan pakaian kebesaran tradisional raja Kendari beserta permaisurinya, juga pakaian kebesaran raja Muna,panglima perang atau Kapitalao, menteri besar atau Banto Balano dan Pasi yakni petugas pengurus benda pusaka kerajaan. Semuanya dipamerkan dengan bentuk boneka berpakaian tradisional tersebut. Di ruanga inipun dioamerkan berbagai jenis hasil kerajiana perak Kendari, kerajinan anyaman-anyaman, tenunan serta benda-benda pusaka, beberapa goci dan berbagai binatang yang telah diawetkan seperti penyu, burung Meleo, penyu bersisik, biawak, enggang dan lain-lain.
2 Lantai kedua dibagi menjadi 14 buah kamar, yaitu 7 kamar di sisi sebelah kanan dan 7 kamar di sisi sebelah kiri. Tiap kamar mempunyai tangga sendiri-sendiri hingga terdapat 7 tangga di sebelah kiri dan 7 tangga sebelah kanan, seluruhnya 14 buah tangga. Fungsi kamar-kamar tersebut adalah untuk tamu keluarga, sebagai kantor, dan sebagai gudang. Kamar besar yang letaknya di sebelah depan sebagai kamar tinggal keluarga Sultan, sedangkan yang lebih besar lagi sebagai Aula.
3 Lantai ketiga berfungsi sebagai tempat rekreasi
4 Lantai keempat berfungsi sebagai tempat penjemuran. Disamping kamar bangunan Malige terdapat sebuah banguan seperti rumah panggung mecil, yang dipergunakan sebagai dapur, yang dihubungakan dengan satu gang di atas tiang pula. Di anjungan bangunan ini di[pergunakan sebagai kantor anjungan. Pada bangunan Malige terdapat 2 macam hiasan, yaitu ukira naga yang terdapat di atas bubungan rumah, serta ukiran buah nenas yang tergantung pada papan lis atap, dan dibawah kamar-kamar sisi depan. Adapun kedua hiasan tersebut mengandunga makna yang sangat dalam, yakni ukiran naga merupakan lambang kebesaran kerajaan Buton.
Sedangkan ukiran buah nenas, dalam tangkai nenas itu hanya tumbuh sebuah nenas saja, melambangkan bahwa hanya ada satu Sultan di dalam kerajaan Buton. Bunga nenas bermahkota, berarti bahwa yang berhak untuk dipayungi dengan payung kerajaan hanya Sultan Buton saja. Nenas merupakan buah berbiji, tetapi bibit nenas tidak tumbuh dari bibit itu, melainkan dari rumpunya timbul tunas baru. ini berarti bahwa kesultanan Buton bukan sebagai pusaka anak beranak yang dapat diwariskan kepada anaknya sendiri. Falsafah nenas in dilambangakan sebagai kesultanan Buton, dan Malige Buton mirip rongga manusia. Anjugan daerah Sulawesi Tenggara dibangun sejak tahun 1973 dan diresmikan pengggunaannya pada tahun 1975.
Bertindak sebagai perancang terutama pada bangunan induknya adalah orang-orang adat dari bekas kesultanan Buton. Pada halaman anjungan terdapat arena pertunjukan dengan latar belakang relief, yang menggambarkan kebudayaan di Sulawesi Tenggara. Di arena inilah pada hari Minggu atau hari libur dipagelarkan kesenian tradisional seperti tari-tarian antara lain tari Kalegoa, tari Lariangi, tari Balumpa, tari Malulo dan lain-lain. Jenis tarian terakhir merupakan tarian pergaulan yang ditarikan dengan membentuk suatu lingkaran, bila besarnya lingkaran telah mencapai lebar arena, dibentuk lagi lingkaran baru di dalamnya, begitu seterusnya sehingga membentuk lingkaran yang berlapis-lapis karena semakin banyak orang yang melibatkan diri ikut menari tarian Malulo

Sabtu, 18 Januari 2014

Pakaian Adat Kendar


 
 Mengenai Pakaian
Accessories dan Sanggul
Proses perkembangan pakaian adat Tolaki / Accsories /Sanggul.
Sejak dahulu masyarakat Tolaki telah membuat bahan pakaian yang disebut “Kinawo” artinya bahan pakaian yang terbuat dari kulit kayu. Proses pembuatan Kinawo ini dilakukan dengan cara yang masih sangat sederhana yaitu dengan cara mengambil kulit kayu tersebut yang disebut kayu Usongi, Dalisi, Otipulu, dan wehuka, kemudian dikuliti lalu kulit kayu tersebut direbus dengan abu dapur. Selanjutnya direndam sehari, setelah cukup lembut, kemudian dipukul –pukul pada kayu bulat besar dengan batu segi empat yang pilih hingga menjadi tipis dan lebar. Proses ini disebut “Monggawo” artinya membuat Kinawo (bahan pakaian).
Apabila ditelusuri proses terciptanya bentuk (model) pakaian adat masyarakat Tolaki, dapat disimpulkan bahwa baju Kinawo itulah yang menjadi dasar yang dipakai dalam menciptakan bentuk baju (model) untuk kurun waktu selanjutnya terutama pada model baju wanita hingga saat ini.
Melalui tahapan perkembangan zaman, mulai lah dikenal tekstil sebagai bahan yang digunakan untuk bahan pakaian. Generasi terdahulu telah menciptakan pakaian dan kelengkapannya sesuai dengan kebutuhan zamannya, fungsi, tujuan, kegunaannya dan kelompok usia pemakaiannya, bahkan status sosial dari pakaiaannya. Demikian pula halnya dengan Accsoseries dan sanggul telah mengalami perubahan melalui proses waktu yang panjang sesuai tahapan perkembangan jaman. Juga perawatan rambut dan kulit / kecantikan serta tata rias dan wajah, sejak dahulu telah dikenal dan dilaksanakan meskipun pada awal usia masih dengan cara yang serba sederhana.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa proses terciptanya pakaian adat Tolaki / Accsesoris / sanggul, telah melalui tahapan-tahapan perkembangan, sebagai hasil daya nalar, karsa atau rasa dari hasil daya budi dari generasi terdahulu yang diwariskan higag saat ini.





Pembagian Ragam (jenis) dan Fungsi Pakaian Adat Tolaki, Accsesories dan Sanggul
Pakaian adat Tolaki / Accsesories dan sanggul, pada saat ini umumnya dibagi menjadi tiga (tiga) bagian yaitu :
  1. Pakaian adat wanita dan kelengkapannya
  2. Pakaian adat pria dan kelengkapannya
  3. Sanggul
  • Pakaian adat wanita dan kelengkapannya terdiri :
  1. Pakaian untuk wanita dewasa / orang tua
  2. Pakaian untuk remaja
  3. Pakaian untuk pengantin
  4. Pakaian untuk anak – anak
  5. Pakaian untuk tari
  • Untuk pakaian / busana ada tyang diketengahkan pada kesempatan ini hanyalah khususanya pada / busana pengantin wanita dan pria.
Tata Busana Pengantin Wanita dan Pria Serat kelengkapannya.
1. Busana pengantin wanita disebut : “Babu Nggawi” terdiri atas dua jenis, yaitu:
a. Babu Nggawi Lipa Hinoru : ini adalah jenis yang sejak dahulu telah dipakai oleh masyarakat Tolaki (hinoru sama dengan ditenun).
b.  Babu Nggawi Roo Mendaa : adalah jenis yang telah dikembangkan, tetapitetap mengambil model dasar tradisional.
Uraian tata cara pemakaian kedua jenis tata rias ini adalah sebagai berikut :
  1. Babu Nggawi Lipa Hinoru :
  • Bagian bawah memakai lipa hinoru motif tradisional Tolaki,
  • Bagian atas (blus) memakai baju mbinarahi, yang tidak bersambung pada bahu / lengan (lengan terusan)
  • rias sanggul / rambut yaitu : memakai perhiasan Kendari – werk (seni amas / perak Kendari), yang dapat disepuh emas atau tetap perak.
  • Adapun rias wajah sama dengan rias wajah untuk jenis “Babu Nggawi Roo Mendaa”.
b. Roo Mendaa
Roo mendaa ini adalah rok panjang  sebatas mata kaki. Rok mandaa ini tersebut dari warna, bahan baju yang sama dengan rok panjangnya diberi pleats (nempel ) pada bagian depan tengah, sedang pada bagian bawah diberi hiasan manik – manik berwarna keemasan bermotifkan khas daerah tolaki (tradisional).
Catatan :
Motif baju Nggawi berpola pada motif tradisional tolaki yaitu :
-          Motif pinetobo
-          Motif pinesowi
-          Motif pineburu mbaku
c. Perhiasan Telinga
Pada telingan tergantung anting – anting panjang (terurai) yang disebut Kumenda, Toe – Tole.
d. Perhiasan Leher
PADA leher dipakai dua macam kalung yaitu eno – eno sinolo atau kalung panjang dan eno – eno renggi atau kalung pendek.
e. Perhiasan Lengan
pada kedua lengan dipasang lengan yang terdiri dari tiga  macam gelar yaitu :
-          Bolosu atau gelar besar
-          Pipisu atau gelar berbentuk kecil – kecil
-          Poto atau gelar yang dipakai batu – batuan / permata.
f. Ikat pinggang atau salupi Nggolopua
Salupi Nggolopua ini pada bagian tengahnya berbentuk seperti kura – kura
g. Perhiasan Kaki
Perhiasan kaki dipasang O – Langge atau gelang kaki 2 buah.
Pada saat melangkah gelang kaki ini akan berbunyi.
h. Sanggul dan Accsesoris.
Sanggul adat tolaki terdiri dari beberapa macam tetapi yang digunakan untuk pengantin wanita adalah timu tinambe atau sanggul yang terbuat dari rambut asli calon pengantin.
Pada jaman dahulu sanggul ini hanya terbuat dari rambut asli calon pengantin. Tetapi pada masa sekarang ini keadaan tidak memungkinkan lagi untuk kita membuat timu tinambe dari rambut asli, maka dibutlah hairpiecedari model timu tinambe untuk lelakiu memudahkan para juru rias. Pada timu tinambe tersebut diberi beberapa macam hiasan yaitu :
  1. Towe Ndowe Melai :adalah hiasan sanggul yang menjulur panjang terurai
  2. Towe – Ndowe Menggila : adalahg hiasan sanggul sejenis pinangn goyang.
  3. Wunga – wungai  : adalah hiasan sanggul berbentuk kembang kecil mengkilat
  4. Sanggula :: sanggula ini merupakan tanaman langkah yang suda jarang sekali kita temukan.
Fungsinya adalah untuk mempercantik anggul, juga sebagai pengharum atau berfungsi sebagai parfum. Sekarang ini karena tanaman sanggula karena sangat langkah, maka bunga sanggula ini dapat diganti dengan bungamelati yang dirangkai untuk menggantikan fungsi “Bunga sanggula “ yang bentuk dan warnanya sama.
2. Tata Rias Wajah Dan Rambut
Pada umumnya pengantin wanita maupun pria biasanya di rias wajah dan rambutnya, terutama pengantin wanita. Tata rias pengantin wanita suku bangsa tolaki disebut “Meopuleo”. Meopuleo maksudnya merias wajah dan menata rambut supaya kelihatan cantik dan menarik.
Sebelum hari upacara perkawinan tiba, calon pengantin wanita telah disiapkan dengan perawatan khusus. Calon pengantin wanita tidak diperkenankan keluar rumah yang disebut “Inuanggi” atau dipinggit.
Dalam tenggang waktu pinggatan calon pengantin wanita dirawat lulur yang disebut “Bada Meeto”, masker wajah disebut “Bada Mowila”.kemudian dua hari sebelum hari perkawinan dilakukan pembersihan wajah dengan cara Mekari (Mewiwika) atau membersihkan bulu – bulu halus dan kotoran yang melengket pada muka. Kemudian rambut pinggiran muka atas dahi biasanya dirias yang disebut Meandari dengan cara menyisir rambut – rambut pendek turun menutupi bagian dahi lalu diratakan dengan pisau cukur atau gunting kira – kira 1 – 2 cm sesuai bentuk muka.
Untuk saat sekarang ini menggunting rambut bagian depan rupanya tidak sesuai lagi dengan keadaan maka untuk meandara ini diganti dengan bahan lain untuk membentuk dahi.
Selanutnyan tata rias wajah pengantin dilakukan dengan urut – urutannya sebagai berikut :
1. Mebada                                          : Memakai bedak
2. Mesila                                            : Menghitam kelopak mata
3. Shadou                                           : Memberikan bayangan mata
4. Metipa                                            : Memberikan alis dengan pensil
5. Mekamea – mea                             : Memakai lipstick
6. Meandara                                       : Membentuk dahi
7. Metirangga                                     : Memberi warana kuku (kutex) yang Bahannya terdiri dari kapur sirih lalu dioleskan pada kuku. Kemudian didiamkan beberapa lama  sesudah itu baru dibersihkan dengan air.
8. Nibura                                            : Memberikan aksen atau noktah pada dahgi bagian tengan dan kiri kanan.
Bahannya tersebut dari kapur sirih yang ditambah dengan air putih, lalu dengan menggunakan batang rotam kecil yang pada ujungnya dibelah empat.
3. Busana Pengantin Pria
Busana pengantin pria di sebut Babu Nggawi Langgai.
Umumnya jenis perlengkapan untuk pengantin pria lebih sederhana. Babu Nggawi Langgai ini meliputi tata busana pengantin pria yang terdiri atas bagian-bagiannya sebagai berikut.
-          Babu Kandiu
Babu Kandiu ini adalah baju yang berkerah berdiri dengan lengan panjang dan bagian depannya terbuka. Pada bagian sekitar leher dan belahan baju depan diberi hiasan-hiasan yang berwarna keemasan, demikian juga pada lengan
-          Saluaro ala
Saluaro ala adalah celana panjang yang pada bagian bawah (kaki) kiri kanan dibelah kira-kira 10-15 cm sedang pada sekitar pinggiran dipasangkan hiasan yang sama dengan hiasan baju tadi.
-          Lipa Mbineulu
Lipa Mbineulu ini adalah sekarang motif khusus pada umumnya warna dasarnya hitan bergajris merah.
-          Sulepe atau Salupi
Sulepe atau salupi ini adalah ikat pinggang yang terdiri dari logam sepuhan emas, tetapi untuk masa sekarang ini orang cenderung membuat dari bahan baju yang sama dengan sulepe tersebut, kemudian diberi hiasan manik yang serupa dengan baju.
-          Pabele
Pabele atau destar yang terbuat dari bahan yang sama dengan celana dan baju tadi. Bentuknya pada bagian depan ujung atas atau puncaknya kelihatan runcing.
Sekeliling pinggir pabele dan pada bagian lainnya diberi hiasan benang-benang emas dan manik-manik.
-          Sapu Ndobo Mungai
Sapu Ndobo Mungai sejenis sapu tangan berwarna cerah yang diserasikan dengan warna baju pengantin pria, untuk hiasan keris.
-          Leko atau Keris.
-          Solopu Longgai atau Selof (khusus untuk Pria).
Cara pemakaian baju dan celana sama seperti pada umumnya pengantin pria, hanya memakai sarung (Lipa Mbineulu) yaitu dililit pada pinggang membalut celana dan pinggir sarung berada di atas lutut.
Sedang baju pria berada di atas sarung.
Pada pinggang di pasang sulepe kemudian keris/leko diselipkan di pinggang bagian depan. Ujung keris dililitkan (diikatkan) sapu ndobo wungai (sapu tangan).
Pada umumnya bahan pakaian wanita dan pria ini selalu sama  yaitu terbuat dari bahan beledu atau bahan-bahan lainnya kemudian accessories yang dipakai untuk wanita maupun pria biasanya terbuat dari perak sepuhan emas. Hal ini tergantung dari status sosial ataupun kemampuan masing-masing. Dahulu untuk kaum Anakia (bangsawan) biasanya terbuat dari emas sedangkan untuk orang kebanyakan terbuat dari perak sepuhan.